3 Aspek Budaya K3 Yang Perlu Kamu Ketahui!

4.7/5 - (3 votes)

Aspek Budaya K3

3 Aspek Budaya K3 – Semua upaya organisasi atau perusahaan selalu memimpikan kelaziman atau budaya semacam itu tumbuh dan berkembang di semua aktifitas yang ada di dalam organisasi. Tidak hanya perusahaan, akademisi juga tiada menyerah untuk menggali, mengenali, dan menyebarkan prinsip-prinsip pencegahan kerugian sebagai benih-benih budaya tersebut.

Banyak sudut pandang dan argumentasi tentang Budaya K3 telah “disajikan” oleh para akademisi dan praktisi K3. terutama disebarkannya berbagai metode penerapan K3 yang menurut para akademisi dan praktisi ini sebagai “akar-akar K3”. Meski demikian para praktisi maupun akademisi sepakat bahwa tidak ada satu pun definisi tunggal yang mampu menggambarkan secara holistik tentang apa itu budaya K3.

Walaupun tidak ada definisi tunggal, namun keberadaan budaya K3 dapat dikenali melalui tiga aspek pendekatan yang saling berinteraksi dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Berikut ketiga aspek dalam budaya K3 :

  • Aspek psikologi (cara berpikir)
  • Aspek sosiologi (cara berinteraksi)
  • Aspek antropologi (cara membuat artefak/peninggalan)

3 Aspek Budaya K3

1. Aspek Psikologi (Cara berpikir)

Budaya K3 tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir terhadap upaya menurunkan atau bahkan menghilangkan risiko. Seperti kita bahwa risiko adalah produk dari Likelihood (Kekerapan atas kemungkinan) dan Consequences (Besarnya dampak). Penulis pernah mengupas bagaimana masing-masing produk ini “berperan” pada risiko dan bagaimana langkah pengendalikan “peran” tersebut.

Pada banyak penelitian dan juga praktek-praktek K3 di lapangan yang telah berhasil “menciptakan” rekor kerja tanpa kecelakaan sekian puluh juta jam kerja, terlihat kuat bahwa cara berpikir para “aktor-aktor” di perusahaan tersebut selalu mendahulukan (memberi prioritas) pada upaya untuk mengurangi atau meniadakan Likelihood.

Aktor-aktor ini berkeyakinan bahwa semua aktifitas kerja dapat “dibongkar” faktor-faktor Likelihood yang dapat menyebabkan terwujudnya insiden. Semua hal disekitar aktor tersebut saat bekerja dipandang sebagai hal yang berisiko, sehingga perlu “ditemukan” faktor yang akan menyumbang pada Likelihood. Dengan mengunci Likelihood pada tingkat/level yang dapat diterima maka kondisi nihil insiden dapat terbangun dengan sendirinya. Ini salah satu cara berpikir yang dapat diyakini sebagai pemicu terbentuknya budaya K3.

Daftar Pelatihan Operator Forklift di sini!

2. Aspek Sosiologi (Cara berinteraksi)

Kunci utama pada aspek ini adalah bagaimana memilih “bahasa yang positif” untuk menyampaikan pesan-pesan keselamatan untuk selanjutnya diharapkan terbangun kesadaran yang berkesinambungan untuk berperilaku nihil risiko. Prof Edgar Schein (seorang ahli budaya organisasi) mengatakan bahwa “tidak akan pernah ada budaya dalam organisasi, bila elemennya tidak paham apa yg sudah ditulis oleh organisasi dan bila para pemegang kekuasaan organisasi (top manajemen) menggunakan bahasa sinisme.

Yang ditulis itu merujuk pada pemilihan kalimat dan sinisme merujuk pada kemampuan berbahasa yang positif. Cara berinteraksi menurut Prof Schein ditentukan secara langsung oleh dua faktor tersebut (pemilihan kalimat dan kemampuan berbahasa yang positif).

Cara berinteraksi yang berbasis pada dua faktor tersebut akan menumbuhkan norma-norma yang akan dipercaya sebagai hal yang harus dilakukan. Prof Toety Herawati dalam bukunya “Aku dan Budaya” bahkan menitikberatkan bahwa budaya akan muncul ketika “aku” sudah keluar dari cara berkomunikasi yang serampangan. Intinya adalah pemilihan tata bahasa yang mengandung unsur positif, penyusunan kalimat dalam bahasa yang jelas dan lugas, dan penyusunan makna yang mudah dipahami adalah “akar” dari cara berinteraksi dan norma adalah “buah” dari cara berinteraksi tersebut.

3. Aspek Antropologi (cara membuat peninggalan/artefak)

Setiap budaya selalu menghasilkan artefak menurut Prof Schein. Artefak merupakan ukuran dari seberapa tinggi suatu budaya yang pernah ada. Artefak merupakan “obyek” untuk dipelajari secara tuntas kenapa ada kemunculan “benda peninggalan” seperti itu.

Apa yang menjadi latar belakangnya, apa yang menjadi tujuannya, bagaimana proses terbentuknya, dan pelajaran apa yang akan didapatkan dari “benda peninggalan” tersebut. Dalam budaya K3, yang menjadi artefak adalah indikator kinerja K3.

Indikator kinerja K3 ini adalah “benda peninggalan” dari serangkaian kegiatan K3 dalam upaya untuk mencegah terjadinya insiden atau kerugian. Indikator kinerja K3 tidak hanya memberikan informasi pada semua pihak dalam organisasi tentang “What Went Go Wrong (Apa saja yang tidak benar telah terjadi)” tapi juga merupakan sumber-sumber terhadap “Learn from Success (belajar dari keberhasilan)”.

Begitulah informasi mengenai Aspek Budaya K3, semoga bisa menambah wawasan bagi rekan – rekan semua.

Hubungi tim marketing kami apabila kamu sedang mencari tempat training K3 atau Pelatihan K3 yang memiliki trainer professional

Hubungi team Marketing Kami apabila anda sedang mencari tempat Training K3 atau Pelatihan K3 yang memiliki Trainner Professional dan Harga yang kompetitif.

DAFTAR SEKARANG  JADWAL TERDEKAT

Royhan Abdul
Royhan Abdul

Hai, I am an SEO Specialist who enjoys working with plans, using my analytical mind and playing with SEO tools. Have a high enthusiasm for work as an SEO Specialist and has been enganged for 2 years.

Articles: 313

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *